Swasembada Harga Diri Dulu, Baru Swasembada Sapi


Bertolak belakang dengan sikap banyak pihak yang balik badan dari usaha pembibitan sapi, Kelompok Peternak “Ngaritiyah” justeru merasa tertantang mengelola kegiatan ini. Apa yang membuat mereka optimis menjalankan usaha yang dipandang orang “lebih banyak masalahnya dibandingkan potensi untungnya”? Berikut wawancara ptkar.com dengan Firdaus, Ketua Ngaritiyah, di sela-sela kunjungannya ke para peternak di berbagai lokasi di Jawa Tengah.Kelompok Anda begitu antusias dengan kegiatan pembibitan sapi, padahal pembibitan dianggap banyak orang tidak menarik dari sisi bisnis. Seperti apa Anda melihat pembibitan ini?


Kami melihat sektor breeding tidak menarik karena memang cashflow-nya lambat. Bahkan perusahaan-perusahaan feedlot mengeluh dengan aturan harus menyediakan 20 persen sapi betina produktif (dari total sapi yang diimpor). Tapi yang tidak banyak orang pahami bahwa yang mampu survive, yang mampu berjalan di sektor breeding itu adalah peternakan rakyat, bukan korporat. Mengapa demikian?


Karena peternak rakyat itu sambil ke sawah atau ke kebun, di mana mereka menemukan rumput langsung diarit dan dikasih makan ke sapi. Ini yang terjadi di lapangan. Di banyak lokasi yang saya kunjungi, para peternaknya lebih senang memelihara sapi betina daripada sapi jantan. Ini adalah kultur yang menarik. Mereka melakukan itu tanpa berhitung untung ruginya. Jadi, kultur ini kalau dihitung secara nominal tidak bisa.


Kultur breeding inilah yang terjadi di peternakan rakyat. Dan yang menopang kebutuhan sapi nasional adalah peternakan-peternakan rakyat. Menurut ketua Gapoktan dan Dinas di Gunung Kidul yang baru kami survey, di wilayah mereka saja ada sekitar 50 ribu ekor betina indukan. Peternak di sana tetap bertahan untuk memelihara sapi betina indukan daripada sapi jantan. Itu baru Gunung Kidul, belum ke Boyolali atau ke Jawa Timur di mana mayoritas sapi nasional ada di situ.


Jadi, breeding sapi menurut Anda bisa untung?


Bagaimana agar peternak sapi breeding bisa untung, mudah saja sebetulnya. Pola yang sudah berjalan kita awasi. Melalui kemitraan kita berikan sentuhan teknologi, berikan straw berkualitas. Jangan mereka minta limousin tapi keluarnya pegon atau grandong. Kalau terjadi seperti ini, mereka jengkel setengah mati, tapi mau jengkel kepada siapa.


Ngaritiyah menawarkan kemitraan seperti ini, dan para peternak merasa mendapat angin segar. Mereka merasa mendapat posisi tawar yang luar biasa. Mereka juga diberikan sapi yang punya jaminan sertifikasi. Ini yang mereka tunggu-tunggu.


Apa program yang disiapkan Ngaritiyah untuk para anggotanya?


Kemitraan yang kita bangun menerapkan standar yang ketat. Sebagai contoh, anggota harus punya kandang semi-permanen. Mereka juga harus punya sumber hijauan dan konsentrat. Kesemuanya jadi bagian satu paket kerjasama. Ada pula program refill fermentasi atau refram. Ini untuk mengatasi kekurangan di mana selama ini sapi dikasih makan jerami. Dengan refram, kita sediakan pakan yang kualitasnya lebih bagus.


Kami melakukan pendampingan kepada anggota dalam hal pemeliharaan sapi. Nanti ada pelatihan-pelatihan bekerjasama dengan swasta. Setelah kegiatan-kegiatan pelatihan berjalan, manajemen kandang berjalan, kita ingin menyubsidi kegiatan breeding oleh kegiatan fattening.


Usaha ini dibiayai oleh lembaga pendana, di mana ada swasta yang berperan memberikan corporate guarantee. Sapi-sapi didistribusikan kepada peternak mitra yang sudah tervalidasi dan terjamin integritas moralnya. Sapi-sapi yang mereka pelihara nantinya untuk memenuhi kebutuhan harian swasta pemberi garansi itu. Dengan pola tersebut, anggota sangat bersemangat memelihara sapi yang bisa memenuhi spesifikasi dan kualitas tertentu, bahkan bisa bersaing dengan sapi-sapi impor.


Kebijakan pemerintah seperti apa yang menurut Anda dapat mendukung kegiatan pembibitan?


Pemerintah bermain di regulasi saja. Breeding di mata swasta tidak populis karena marjinnya sangat kecil. Swasta inilah yang seharusnya digandeng pemerintah dengan berbagai mekanisme dan terobosan.Salah satu solusi konkrit, pemerintah sediakan betina-betina sapi lokal yang bagus, untuk kemudian dikerjasamakan dengan swasta. Kemudian swasta yang menghandle dan diberi kompensasi, karena swasta pasti tidak mau rugi.


Program pemerintah yang dilaksanakan saat ini membuat ada yang diuntungkan tetapi ada juga yang dirugikan. Misal dalam program Upsus Siwab, banyak sekali betina yang memiliki masalah reproduksi tetap dikawinkan, sehingga muncullah kasus-kasus di lapangan inseminasi buatan sampai lima kali atau tujuh kali.


Jangan melihat secara parsial, bahwa dengan Upsus Siwab akan meningkatkan populasi. Bayangkan, Upsus Siwab punya target anakan yang lahir harus mencapai 4 juta ekor atau senilai 70 triliun rupiah. Fakta di lapangan, misalnya yang terjadi pada sapi milik anggota Ngaritiyah, sapi-sapi itu gagal bunting, sudah beberapa kali inseminasi gagal. Jadi di lapangan faktanya berbeda.


Menurut saya, kunci keberhasilan swasembada ada pada kita semua. Ayo kita berswasembada harga diri dulu sebelum berswasembada daging sapi.


Kelompok Ngaritiyah terlihat begitu optimis menjalankan pembibitan sapi. Memang latar belakang anggota kelompok seperti apa?


Anggota Ngaritiyah beternak sebagai sumber mata pencaharian utama. Mereka sudah puluhan tahun beternak, dari bapak turun temurun kepada anaknya. Jadi bukan peternak-peternak baru. Hanya saja mereka belum mendapatkan sentuhan teknologi. Keanggotaan Ngaritiyah kami seleksi juga. Kami tidak mau bekerjasama dengan peternak-peternak baru yang sekedar memutar uang mencari untung. Itu sangat oportunis.


Ngaritiyah sendiri belum lama terbentuknya. Kita berawal dari dunia maya, bermula dari keprihatinan yang sama, yaitu sama-sama terzolimi. Yang membuat teman-teman militan itu karena kita memberikan sebuah solusi konkrit. Jadi mereka bukan peternak program. Mereka memelihara sapi sudah tahunan, mereka punya modal. (wahdat kurdi)